Advertisement

Responsive Advertisement

Ahmad Hassan: Memurnikan Tauhid dalam “Persatuan Islam”

Ditulis oleh M. A. Iskandar


Sumber foto: https://artaazzamwordpresscom.files.wordpress.com/2015/10/a-hassan.jpg diakses tanggal 16 Maret 2018

“Sejarah telah membuktikan jika sikap, perilaku, dan pemikiran umat Islam tidak mengikuti tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah, malah mengikuti Imam dan madzhab dengan membuta, maka umat Islam terjerumus ke dalam taqlid, bid’ah, khurafat, dan syirik. Demikaian pula sebagai akibat dari interaksi antara Islam dengan nilai-nilai agama lain dalam perjalanan panjang sejarah perkembangannya telah mengakibatkan ajaran Islam terkontaminasi (ter-iltibas) oleh nilai-nilai bathil. Semua itu mengakibatkan kemunduran dan kehancuran umat Islam”. (Muqaddimah, Qanun Asasi Persatuan Islam. 2000).

Ahmad Hassan adalah salah seorang tokoh yang ikut mengembangkan Persis (Persatuan Islam) menjadi organisasi modern Islam di Indonesia. Persis sendiri didirikan pada 12 September 1923 oleh Haji Zamzam dan Haji Yunus di Bandung, dimana aktivitas dakwahnya diprakarsai dan didanai sendiri oleh para pendirinya, serta dari beberapa pengusaha asal Palembang. Selain itu, pendanaan organisasi ini juga dibantu oleh K. H. M. Anang Tojib bin H. Samsudin. Pada saat Ahmad Hassan ikut bergabung dengan Persis, organisasi ini semakin berkembang. Ia kemudian menjadi guru utama dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam di Persis.  

Pada 1921, Ahmad Hassan yang saat itu berusia 34 tahun, tinggal di Surabaya untuk kepentingan usahanya sebagai pengusaha tekstil. Pada awalnya, ia tidak begitu tertarik dengan urusan agama karena menurutnya ia hanya memiliki ilmu yang sedikit tentang agama. Yang membuatnya tertarik dengan masalah-masalah agama adalah karena saat itu sedang hangat pertentangan antara Kaum Tua dan Kaum Muda dalam masalah khilafiyah[1]. Salah satu diantara yang menjadi perdebatan adalah masalah ushalli[2]. Ia berpendapat bahwa ushalli merupakan sunah karena hal itu bisa ditemukan dari kitab manapun yang dibuat oleh para ulama. Namun ketika ditanyakan tentang dalil kesunahannya, A. Hassan tidak mampu menemukan jawabannya.

Kaum muda berpendapat saat itu bahwa kata ushalli merupakan bid’ah karena tidak ada dalil yang menerangkan tentang hal itu. Begitu pula masalah-masalah lain seperti talqin, ada yang berpendapat sunnah dilakukan pada saat seseorang menghadapi sakaratul maut, ada pula yang berpendapat sunnah pula dilakukan setelah mayat dikuburkan[3]. Tidak hanya itu banyak ritual-ritual ibadah dalam ajaran Islam yang ternyata setelah diteliti memang tidak berdasar pada al-Quran dan Hadits. Hal ini yang kemudian menjadikan A. Hassan ingin mempelajari secara lebih dalam mengenai urusan-urusan agama.

Sekitar tahun 1926, A. Hassan pindah ke Bandung, dan tinggal di kediaman H. Yunus (pendiri Persis). Sejak tinggal di Bandung, ia aktif di Persis dan tidak melanjutkan usaha pertekstilannya. A. Hassan lebih memfokuskan diri terhadap masalah agama melalui organisasi ini. Menurut Dr. Atif Latifulhayat, mantan Ketua Umum Pemuda Persis, menyatakan bahwa  A. Hassan memilih Persis karena mempunyai ide yang sama dengannya, yakni perlunya pengkajian ulang terhadap fikrah dan praktik keagamaan yang dinilai sudah jauh menyimpang dari tuntunan al-Quran dan As-sunnah. A. Hassan memilih Persis merupakan pilihan rasional dengan beberapa latar belakang. Pertama kesamaan visi kembali kepada al-Quran dan As-sunnah menjadi daya tarik fikrah bagi A. Hassan. Kedua, A. Hassan membutuhkan sebuah organisasi yang dapat mewadahi berbagai kegelisahan intelektual dan ide-ide perjuangannya[4].

A. Hassan memiliki metode tersendiri dalam menyampaikan dakwahnya yaitu melalui diskusi. Karena itu, tidak jarang ia terlibat dalam berbagai debat tentang masalah-masalah dalam agama bahkan dengan penganut nonmuslim. Beberapa debat yang pernah dilakukan diantaranya:

  1. Ahmadiyyah Qadiyan. Tentang paham gerakan ini, misalnya dalam hal kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan lainnya. Dari pihak Ahmadiyyah diwakili oleh Rahmat Ali dan Abu Bakar Ayyub. Debat ini dilakukan sebanyak tiga kali; dua kali di Jakarta dan sekali di Bandung.
  2. Kristen (Sevent Day Adventis) tentang kebenaran agama Kristen dan bible. Debat ini dilakukan tiga kali secara terbuka dan beberapa kali secara tertutup
  3. Kaum Tua tentang masalah taqlid dan bid’ah, pertama dengan Ittihadul Islamiyyah Sukabumi (K.A. Sanusi), kedua Majelis Ahlus-Sunnah Bandung. Ketiga Nahdatul Ulama di Cirebon tahun 1932 (H. Abdul Khair) dan di Bandung tahun 1935 (A. Wahab Hasbullah) dan di Gebang tahun 1936 (Masduqi)
  4. Permi (Persatuan Muslimin Indonesia), tentang paham kebangsaan. Debat ini dilakukan dengan tertutup, Permi diwakili oleh Mukhtar Luthfi.

5.      Atheis, yaitu seorang bernama M. Ahsan dari Malang. Perdebatan dilakukan di Gedung al-Irsyad Surabaya tahun 1955. A. Hassan di pihak yang mengakui adanya Tuhan dan M. Ahsan sebaliknya, tidak mengakui adanya tuhan atau mewakili kaum atheis (http://persis.or.id/a-hassan-guru-utama-persatuan-islam-pertemuan-awal-dengan-persis/ diakses tanggal 14 Maret 2018).

Akibat pertentangannya dengan Kaum Tua, A. Hassan pernah dihukumi kafir oleh Mufti Johor, Sohibul Samahah Sayyid Alwi al-Haddad. Tuduhan ini seperti yang tercantum dalam surat kabar “Semenanjung” edisi 14 Juli 1958 dengan judul “Kaum Muda Menyebabkan 30 Juta Jadi Komunis”, alasannya karena A. Hassan menggunakan teori Darwin dan Sigmund Freud dalam menafsirkan al-Quran. Tuduhan ini dibantah oleh Buya Hamka sebagaimana yang dituliskan dalam bukunya Teguran Suci dan Jujur Terhadap mufti johor (1958) sebagai berikut :

“Beberapa tahun yang lalu ada seorang pemuda Indonesia mengakui dirinya telah keluar dari agama Islam. Dan dia mengakui tuhan Allah tidak ada. Nama pemuda itu Suradal. Dan dia menentang ulama- ulama Islam bermujadalah dan berdebat. Tak satupun ulama Kaum Tua yang mau melayani. Hanya cukup dengan perkataan “Suradal Kafir” dan memandangnya sebagai orang yang miring otaknya. Tapi Tuan Hassan Bandung menjawabnya dengan dengan forum debat terbuka di Jakarta, dihadiri oleh seribu orang lebih. Maka dengan gagah dan congkak pemuda itu mengeluarkan segala pokok dan taruhanya mula-mula seakan-akan dia yang benar, tetapi setelah segala tentangan itu ditangkis Almarhum Tuan Hassan dengan mantiq yang lebih tinggi, habislah pokok taruhan pemuda itu, tidak dapat berkutik lagi. Sehingga debat tidak dapat diteruskan sebab dia segera telah kalah. Orang ramai menjadi jengkel seekor semut melawan gergasi . Inilah Tuan Hassan Bandung yang dikafirkan oleh Mufti Johor itu. Dan di Malang, Jawa Timur ada pula seorang pemuda lain, yang berfahaman demikian pula. Berdiskusi dengan Almarhum Tuan Hassan. Akhirnya, pemuda itu tunduk dan kembali menjadi orang Islam”. (http://persis.or.id/a-hassan-guru-utama-persatuan-islam-pertemuan-awal-dengan-persis/ diakses tanggal 14 Maret 2018).

Tidak hanya masalah agama, A. Hassan juga memerhatikan masalah politik. Menurutnya politik dan agama tidak dapat dipisahkan karena Islam merupakan agama yang sempurna yang juga mengatur masalah ketatanegaraan. Karena itu ia menolak asas kebangsaan yang sempit sebagaimana ia menafsirkan tentang pergerakan Pan Islamisme oleh Jamaluddin Al-Afghani bahwa meskipun ia mencantumkan nama negeri asalnya Afghanistan namun Jamaluddin Al-Afghani berjuang untuk Islam, tidak untuk Afghanistan (Suryanegara: 2009).

Meski pemikiran A. Hassan mengenai asas kebangsaan berbeda dengan pemikiran Soekarno namun Soekarno belajar ilmu agama pula kepada A. Hassan. Hal ini terlihat dari surat-surat Soekarno kepada A. Hassan pada saat ia ditahan oleh Belanda, di Penjara Sukamiskin. Begitu juga pada saat ia dipindahkan dari Sukamiskin ke Ende, Flores, Soekarno meminta kepada A. Hasan agar memberikan hadiah buku-buku agama yang bisa ia pelajari. Hal itu tentu saja ditanggapi positif oleh A. Hassan. Ia dengan senang hati memberikan buku-buku agama seperti Pengajaran Shalat, Utusan Wahabi, Debat Talqin Al- Burhan, Shahih Bukhari-Muslim, dll.

Pada 1937, atas prakarsa dari para ulama dan beberapa partai yang berasaskan Islam, terjalin kesepakatan untuk membentuk Majelis Islam A’la Indonesia. Latar belakang berdirinya organisasi ini sehubungan dengan politik devide and rule (pecah belah dan dikuasai) yang dilancarkan oleh penjajah kolonial Belanda. Selain itu, organisasi ini juga bertujuan untuk menyatukan para ulama dan menghindari perpecahan karena perbedaan pemahaman masalah fiqh. Meski Persatuan Islam baru bergabung dua tahun kemudian tepatnya pada Kongres Al-Islam Indonesia I di Surakarta, tahun 1939, namun kiprahnya dalam MIAI cukup penting. Persis ditunjuk menjadi ketua komisi yang membahas aliran sesat dan kasus penghinaan terhadap Islam saat itu. Hal ini tentu tidak bisa lepas dari sosok A. Hassan yang memang cukup cerdas dalam berdebat.

Cita-cita A. Hassan untuk memurnikan kembali ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah merupakan hasil perjalanan panjang mencari kebenaran ilmu agama. Kehidupannya yang berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya menjadikannya banyak belajar tentang Islam dari berbagai ulama dan pandangannya. Hingga akhirnya bersama Persis cita-cita itu terwujud. A. Hassan telah berhasil menjadikan organisasi ini memliki peran penting bagi perjuangan bangsa Indonesia.  


[1] Secara bahasa, khilafiyah berarti perbedaan pendapat. Yang kita maksudkan di sini, bukanlah perbedaan pendapat antara Islam dan kufur, karena Allah tidak menerima agama selain Islam. Bukan pula antara orang-orang shalih dengan para pemuja hawa nafsu, karena hawa nafsu itu menyesatkan dan merusak. Melainkan yang kita maksudkan adalah perbedaan pendapat di antara para ulama pewaris nabi dalam masalah fiqhiyah yang bersifat ijtihadiyah. Sumber: https://www.dakwatuna.com/2015/09/27/75028/mengapa-terjadi-khilafiyah/#ixzz59n5qZM69 diakses tanggal 15 Maret 2018

[2] Ushalli (artinya niat saya sholat) maksudnya adalah niat yang dilafadzkan pada saat seseorang akan melaksanakan sholat. Tidak ada pertentangan dari para ulama bahwa niat itu letaknya di dalam hati. Namun mengenai niat yang dilafadzkan seperti ushalli…. dst sebagian ulama ada yang membolehkan dan sebagian ulama  yang lainnya menganggap bahwa perkara itu termasuk bid’ah.  

[3]Yang berpendapat bahwa talqin sunnah dilakukan ketika seseorang menghadapi sakaratul maut adalah berdasarkan hadits berikut: Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ajarilah orang-orang yang hendak meninggal dunia di antara kalian ucapan laa ilah illallah” (Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram no 501 mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan kitab hadits yang empat [Nasai, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, pent]”. Sementara yang berpendapat sunnah pula dilakukan setelah mayat dikuburkan berdasrkan hadits berikut: Dari Dhamrah bin Habib, seorang tabiin, “Mereka (yaitu para shahabat yang beliau jumpai) menganjurkan jika kubur seorang mayit sudah diratakan dan para pengantar jenazah sudah bubar supaya dikatakan di dekat kuburnya, ‘Wahai fulan katakanlah laa ilaha illallah 3x. Wahai fulan, katakanlah ‘Tuhanku adalah Allah. Agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad” [Dalam Bulughul Maram no hadits 546, Ibnu Hajar mengatakan, “Diriwayatkan oleh Said bin Manshur secara mauquf (dinisbatkan kepada shahabat). Thabrani meriwayatkan hadits di atas dari Abu Umamah dengan redaksi yang panjang dan semisal riwayat Said bin Manshur namun secara marfu’ (dinisbatkan kepada Nabi)].

Posting Komentar

0 Komentar