Ditulis oleh M. A. Iskandar
Sumber foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Mohammad_Yamin,_Pekan_Buku_Indonesia_1954,_p251.jpg “Kewajiban yang terpikul di atas kepala dan
kedua bahu kita, yakni, suatu kewajiban yang sangat teristimewa kewajiban untuk
ikut menyelidiki bahan-bahan jang akan menjadi dasar dan susunan negara yang
akan terbentuk dalam suasana kemerdekaan”. (100 Tokoh Islam Indonesia,
Shalahudin Hamid dan Iskandar Ahza, 2003: 419)
Itulah pidato yang disampaikan Muhamad Yamin pada
sidang pertama Dokuritsu Junbi Coosakai (Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 29 Mei 1945.
Pidato yang juga sekaligus sebagai pembuka dari sebuah sidang yang menjadi
dasar pembentukan Indonesia merdeka. Dari pidato ini nampak jelas bahwa
Muhammad Yamin menyadari tugas yang diembannya merupakan tugas yang cukup
berat. Hal itu karena menyangkut tentang peletakan fondasi kenegaraan yang
dapat menentukan arah dan tujuan bagi bangsa yang merdeka di masa depan.
Selanjutnya, dalam pidatonya, beliau mengungkapkan
gagasan tentang dasar negara dan yang bersangkutan dengan dasar negara.
Muhammad Yamin mengemukakan tentang lima asas dasar Negara Kebangsaan Republik
Indonesia yang terdiri dari:
1. Peri
Kebangsaan
2. Peri
Kemanusiaan
3. Peri
Ke-Tuhanan
4. Peri
Kerakyatan
5. Kesejahteraan
Rakyat
Setelah selesai menyampaikan pidatonya, beliau
menyampaikan lima asas dasar negara secara tertulis yang berbeda dengan pidato
yang disampaikannya. Isi dari asas dasar negara sebagaimana yang beliau
tuliskan adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan
Yang Maha Esa
2. Kebangsaan
persatuan Indonesia
3. Rasa
kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Asas negara yang hampir
mirip dengan teks Pancasila[1]
itu disangkal oleh Drs. Mohamad Hatta bahwa itu merupakan pemikiran Muhammad
Yamin[2]. Meski
demikian kelima asas negara yang diungkapkan Muhammad Yamin kemungkinan terinspirasi
dari kitab-kitab kuno karangan empu-empu yang sering ia pelajari. Salah
satunya adalah kitab Negara Kertagama karangan Empu Prapanca yang menjelaskan
tentang konsepsi negara Majapahit. Kesukaan beliau terhadap kitab-kitab sastra-sastra
lama terlihat pula dari beberapa karyanya yang banyak bercerita tentang
kejayaan nusantara di masa lalu seperti Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama) (1932),
Ken Arok dan Ken Dedes (drama) (1934), Gadjah Mada (novel) (1948), Ketatanegaraan
Madjapahit, 7 jilid.
Sidang BPUPKI pada sesi pertama berakhir pada 1
Juni 1945 dengan pidato terakhir disampaikan oleh Ir. Soekarno yang kemudian
menjadi tonggak lahirnya Pancasila[3]. Pada masa reses sidang
BPUPKI dibentuk panitia kecil yang berjumlah 9 orang yang kemudian dikenal
dengan sebutan Panitia Sembilan. Panitia Sembilan terdiri dari Ir. Soekarno,
Drs. Moh. Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A. A. Maramis,
Abdulkadir Muzakir, Wachid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Panitia Sembilan berhasil merumuskan sebuah Preambule yang kemudian oleh Muhammad
Yamin dinamakan Piagam Djakarta atau Djakarta Charter 22 Juni 1945. Adapun
isi dari Piagam Djakarta atau Djakarta Charter adalah sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil
dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Berikut
adalah naskah asli dari Piagam Djakarta atau Djakarta Charter dengan penyesuaian
penulisan ejaan baru.
Sumber foto: https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/04/Naskah_Asli_Piagam_Jakarta.jpg
Terjadi perbedaan pendapat tentang pembentukan
negara di antara golongan nasionalis dan golongan agama. Dari golongan
nasionalis menghendaki adanya pemisahan urusan agama dan urusan negara
sementara kaum agama menghendaki negara berdasarkan Islam. Sebagaimana diungkapkan Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid
I, yang menuliskan pernyataan Prof. Dr. Soepomo:
Memang di sini terlihat
ada dua paham, ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan
supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Dan anjuran lain, sebagai
telah dianjurkan oleh Tuan Mohammad Hatta ialah negara persatuan nasional yang
memisahkan urusan agama dan urusan Islam, dengan perkataan lain, bukan negara
Islam.
Mr. A. A. Maramis termasuk salah seorang yang
menyatakan keberatannya atas preambule
yang dibuat meski sebenarnya ia tidak menolak secara keseluruhan. Yang ia
permasalahkan adalah kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurutnya jika kata “Ketuhanan” ditambahkan
dengan “Yang Maha Esa” maka hal itu tidak bertentangan dengan keyakinan
trinitas umat Kristen. Sedangkan kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya hanya diberlakukan untuk umat Islam saja.
Dengan kebesaran hati dari golongan agama maka
terjadi kompromi yang melahirkan konsensus bersama, Piagam Djakarta. Pada 22 Juni 1945, disepakati hasil konsensus Piagam Djakarta, oleh Dr. Soekiman disebut Wirjosandjojo disebut Gentlement Agreement, dengan
menghilangkan tujuh kalimat sila pertama dan menggantinya menjadi “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Hal ini menunjukkan bahwa para tokoh-tokoh nasional memberi
contoh bagaimana masing-masing menahan egonya demi tercapainya persatuan dan
kesatuan bangsa. Masing-masing golongan lebih mementingkan kepentingan yang
lebih besar yaitu terciptanya bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat serta
terbuka bagi semua golongan.
Sumber
Buku:
Hamid,
Shalahudin, dan Iskandar Ahza. 2003. 100
Tokoh Islam Yang Berpengaruh Di Indonesia. Jakarta: Intimedia Cipta
Nusantara
Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah
Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta:
SetNeg RI
Suryanegara,
Ahmad Mansur. 2010. API SEJARAH 2. Buku
yang akan Menuntaskan Kepenasaran Anda akan Kebenaran Sejarah Indonesia. Bandung:
Salamadani Pustaka Semesta.
Internet:
https://id.wikipedia.org/wiki/Rumusan-rumusan_Pancasila
diakses tanggal 8 Maret 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Lahirnya_Pancasila
diakses tanggal 8 Maret 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Konstitusi
diakses tanggal 8 Maret 2018
https://id.wikisource.org/wiki/Lahirnya_Pancasila
diakses tanggal 8 Maret 2018
[1] Pancasila merupakan istilah yang diucapkan Soekarno pada saat menyampaikan
pidato pada sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Teks Pancasila terdiri dari lima
asas yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
[2] Drs. Mohammad Hatta menyangkal keras, bila Lima Sila Pancasila
seperti sekarang adalah dari pemikiran Mr. Mohammad Yamin dalam pidatonya dalam
Sidang Pertama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Ditandaskan bahwa Mohammad Yamin
tidak berbicara sebagaimana yang dituliskannya, Naskah Persiapan Undang Undang
Dasar 1945. Dalam bukunya, Mohammad Yamin tidak menuliskan pembicaraan para
pemuka nasionalis Islam karena
Mohammad Yamin memang menolak dasar negara adalah Islam. (Suryanegara, 2010:
128).
[3]Lahirnya Pancasila ini
diungkapkan oleh Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam
kata pengantar pidato yang dibukukan dengan judul LAHIRNYA PANCASILA. Pidato pertama tentang Pancasila yang diucapkan
pada tanggal 1 Juni 1945 oleh Bung Karno,sekarang Presiden Negara Republik
Indonesia. 1947, sebagai berikut: “Dengan
perasaan gembira saya terima permintaan penerbit buku ini untuk
memberi-kan sepatah dua patah kata pengantar, serta dengan segala
senang hati saya penuhi permintaan tersebut.Sebagai "Kaitjoo"
(ketua) dari "Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai" Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan) saya mengikuti dan mendengar sendiri diucapkannya pidato
ini oleh Bung Karno,sekarang Presiden Negara kita.Oleh karena itu sungguh
menggembirakan sekali maksud penerbit untuk mencetak pidato Bung Karnoini,
yang berisi "Lahirnya Pancasila" dalarn sebuah buku kecil.Badan
"Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai" itu telah mengadakan sidangnya yang
pertama dari tanggal 29 Mei tahun 1945 sampai dengan
tanggal 1 Juni 1945 dan yang kedua dari tanggal 10 Juli 1945 sampai
dengan tanggal 17 Juli 1945. "Lahirnya Pancasila" ini adalah
buah "stenografisch verslag" dari pidato Bung Karno yang diucapkan
dengan tidak tertulis dahulu (voor de vuist) dalam sidang yang pertama tanggal
1 Juni 1945 ketika sidang membicarakan "Dasar (Beginsel) Negara
Kita", sebagai penjelmaan daripada angan-angannya”.
0 Komentar