Ditulis oleh M. A. Iskandar
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Tjoet_Nya%27_Dhien.jpg
Banyak dari kita mungkin telah mengenal Iron Man, tokoh superhero fiksi yang
dibuat industri perfilman Holywood, Amerika Serikat, garapan Marvel. Ia adalah
sosok pahlawan super yang memiliki kekuatan dahsyat dari baju besi yang
dikenakannya. Ia digambarkan sebagai sosok perkasa dan mampu mengalahkan
lawan-lawannya dengan baju besi yang dikenakannya itu. Beberapa dari kita juga
mungkin mengenal Margaret Tatcher yang dijuluki Iron Lady dari Inggris. Julukan itu diberikan karena sang ratu
memiliki kekuasaan yang luar biasa dan memerintah negara-negara persemakmuran
Inggris. Berbeda dengan Iron Man asal
Holywood, Margaret Tatcher adalah sosok nyata seorang ratu Inggris yang dengan
kekuasaannya ia cukup dihormati masyarakat Inggris dan dunia.
Indonesia, khususnya masyarakat Aceh sebenarnya
memiliki seorang Iron Woman (wanita
besi) yang perannya melawan penjajahan kolonial Belanda, sangat luar biasa.
Dialah Tjoet Nyak Dien, pahlawan wanita asal Lampadang, IV Mukim, Aceh Besar
yang lahir pada 1848. Sejak usia 12 tahun, setelah ia menikah dengan Teuku Cik
Ibrahim Lamnga, ia langsung terlibat dalam peperangan besar melawan penjajah
kolonial Belanda. Suaminya gugur dalam medan perang pada 1878. Kematian sang
suami tidak menyurutkan langkahnya untuk mundur dari peperangan. Justru
sebaliknya, kematian suaminya tersebut semakin memicu semangat jihadnya melawan
penjajah kolonial Belanda.
Latar belakang Perang Aceh menjadikan Tjoet Nyak Dien
sebagai sosok wanita perkasa yang kuat dan tegar. Dia bukanlah sosok perempuan
yang mudah menyerah. Berbagai rintangan dan cobaan dihadapinya bahkan hingga
akhir hayatnya dia tidak pernah bergantung kepada siapapun. Bahkan pada saat
kematiannya pun tidak ada yang tahu bahwa Tjoet Nyak Dien adalah seorang
panglima perang yang mampu membuat penjajah kolonial kewalahan menghadapi
perlawanannya.
Perang Aceh yang dimulai sejak 1873 merupakan usaha
penjajah kolonial Belanda untuk menyempurnakan kekuasaannya di seluruh pulau
Sumatera dan sekitarnya. Aceh merupakan wilayah strategis yang bisa
menghubungkan perniagaan di wilayah Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan
Cina. Apabila Aceh bisa dikuasai otomatis monopoli perdagangan di wilayah-wilayah
ini secara posisi sangat menguntungkan.
Namun ternyata Aceh tidak mudah ditaklukan. Hingga
akhir penjajahannya, Aceh tidak pernah sepenuhnya dapat ditaklukan oleh
penjajah kolonial Belanda. Justru, pada 1942, ketika datang tentara Jepang,
Belanda harus tunduk kepada Jepang dan menyerahkan seluruh wilayah bekas
jajahannya di Indonesia, kepada Jepang. Sulitnya penjajah kolonial Belanda
menaklukan Aceh tidak terlepas dari peran para ulama. Mereka memang tidak
pernah mendapatkan pelatihan kemiliteran sebagaimana para perwira-perwira
Belanda. Semangat juang mereka lebih kepada perang suci melawan penindasan dari
orang-orang kafir yang digelorakan melalui semangat jihad[1].
Para ulama menggelorakan bahwa perang melawan penindasan orang-orang kafir
sebagai sesuatu yang wajib untuk mempertahankan diri dan akidah mereka sehingga
mereka yang gugur dalam perang termasuk mati
syahid[2].
Perang ini juga dianggap sebagai perang agama guna mencegah upaya kristenisasi
yang dilakukan penjajah kolonial Belanda.
Rakyat Aceh sangat patuh dengan para ulama. Maka
ketika para ulama menyerukan untuk berjihad dengan segera rakyat Aceh
menyambutnya. Sebagaimana yang dituliskan Ahmad Mansyur Suryanegara (2009) yang
mengutip pendapat Carl von Clausewitz tentang perang, menyebutkan bahwa Perang
memerlukan energi atau the strength of
motivation (kemauan yang tiada henti). Siapa yang mampu menumbuhkan
semangat perang? Ajaran apa dan siapa yang memberikan nilai bahwa kematian
dalam peperangan sebagai kematian yang mulia? Dalam Perang Atjeh, menurut Ahmad
Mansyur Suryanegara, jawabannya adalah ulama. Dalam perang, ulama Atjeh dapat
menumbuhkan endurance (ketahanan)
dalam derita di kalangan pejuang Aceh. Dalam hal ini, Carl von Clausewitz menyatakan
bahwa secara teori, perang memerlukan strength
of mind (keteguhan mental) atau strength
of character (karakter yang teguh). (Suryanegara; 2009 hal. 266).
Di tengah suasana dan jaman yang penuh semangat jihad
melawan penjajahan di Aceh, lahirlah seorang wanita pemberani yang seumur
hidupnya didedikasikan demi perjuangan rakyat Aceh dan akidah Islam. Hampir
sepanjang hidupnya yang dihadapi adalah peperangan. Sejak menikah di usia yang
masih belia, ia sudah dihadapkan dengan perang gerilya bersama sang suami,
Teuku Lamnga. Pada awal peperangan, pasukan Belanda yang dipimpin Johan
Harmen Rudolf Köhler, dengan sekitar 3.198
prajurit berhasil ditaklukan. Kohler sendiri tewas pada pertempuran yang
dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah.
Hal ini membuat Belanda berang, taktik militer relentless military operation (operasi
militer yang tidak berbelas kasihan) dilancarkan dengan harapan dapat membuat
rakyat Aceh takut. Taktik ini justru semakin membangkitkan semangat jihad
rakyat Aceh. Di bawah pimpinan Tengku Cik Di Tiro (1836 – 1891) menyatakan Perang
Fisabilillah (Perang di jalan Allah)
melawan kaphe ulanda (kafir Belanda) sebagai reaksi atas penghinaan penjajah
kolonial Belanda yang menilai umat Islam sebagai umat yang biadab. Pada 1878,
Teuku Lamnga gugur dalam peperangan di Gle Arum. Atas peristiwa ini, Tjoet Nyak
Dien sangat marah dan bersumpah untuk memerangi penjajah kolonial Belanda.
Terlebih pada saat seluruh keluarga Tengku Cik Di Tiro juga ikut dibunuh oleh
pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal van der Heyden.
Aceh tak pernah kehabisan pemimpin besar. Ketika
Tengku Cik Di Tiro gugur, saat itu Teuku Umar tampil sebagai pimpinan pasukan
gerilyawan Aceh. Di bawah pimpinannya, perang melawan penjajahan terus
dikobarkan. Ketika Teuku Umar ingin meminang Tjoet Nyak Dien, ia mengajukan syarat
agar diperbolehkan untuk ikut serta berperang. Teuku Umar pun akhirnya
mengijinkan Tjoet Nyak Dien untuk ikut berperang bersamanya. Maka ia pun ikut
bersama Teuku Umar melakukan perang gerilya.
Di tahun 1899, Teuku Umar gugur yang membuat Tjoet Nyak
Dien kembali terpukul karena kehilangan suami untuk kedua kalinya. Gugurnya
para pemimpin ini hampir memadamkan semangat jihad rakyat Aceh. Tjoet Nyak Dien
kemudian tampil mengambil alih pimpinan pasukan yang hampir padam semangatnya.
Tampilnya Tjoet Nyak Dien merupakan momen yang sangat mengharukan dan
mengundang simpati rakyat Aceh sehingga mereka bangkit kembali untuk
melanjutkan jihad melawan penjajahan.
Dari satu peperangan ke peperangan lainnya, keluar
masuk hutan, berpindah-pindah tempat, strategi perang gerilya yang dilancarkan Tjoet
Nyak Dien menjadikan Belanda menderita kerugian yang cukup banyak. Tidak
sedikit pula serdadunya yang tewas dalam peperangan. Perang yang seolah sulit
untuk berakhir membuat Belanda mengubah strategi perangnya. Snouck Hurgronje
diutus untuk mencari tahu bagaimana menaklukan Aceh. Dengan penyamaran yang
sempurna, Snouck Hurgonje membuat strategi perang tidak hanya melalui
pertempuran senjata tetapi dengan pendekatan sistem persenjataan sosial. Ia
berpura-pura menjadi orang Islam kemudian tinggal di Jeddah dan masuk ke Mekah
dan tinggal di sana selama enam bulan. Setelah mempelajari tingkah laku umat
Islam Indonesia dan para ulama, ia berkesimpulan bahwa ulama harus dijauhkan
dari rakyat Aceh. Karena merekalah yang menjadikan rakyat Aceh tentara-tentara
yang kuat dengan semangat jihadnya. Untuk memecah kekuatan rakyat Aceh dengan
ulama harus menggunakan ulebalang.
Kondisi Tjoet Nyak Dien yang semakin tua dan
sakit-sakitan membuat para pengawalnya merasa iba. Ditambah dengan kondisi
perbekalan, amunisi, dan jumlah pasukan yang sedikit akibat strategi Snouck
Hurgronje, membuat posisi mereka terjepit. Dalam situasi seperti ini beberapa
pembantu Tjoet Nyak Dien membuat kesepakatan damai secara diam-diam dengan
penjajah kolonial Belanda. Mereka akan memberitahukan posisi Tjoet Nyak Dien
dengan syarat msekipun nanti Tjoet Nyak Dien tertangkap, pihak Belanda akan
memperlakukannya secara manusiawi.
[1] Jihad dalam arti khusus bermakna “perang melawan kaum kafir atau
musuh-musuh Islam”. Pengertian seperti itu antara lain dikemukakan oleh Imam
Syafi’i bahwa jihad adalah “memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam”. Juga
sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Atsir, jihad berarti “memerangi orang Kafir
dengan bersungguh-sungguh, menghabiskan daya dan tenaga dalam menghadapi
mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan.”
Pengertian jihad secara khusus inilah yang berkaitan dengan peperangan,
pertempuran, atau aksi-aksi militer untuk menghadapi musuh-musuh Islam. Kewajiban
jihad dalam arti khusus ini (berperang, red) tiba bagi umat Islam, apabila atau
dengan syarat:
1.
Agama Islam dan kaum Muslim
mendapat ancaman atau diperangi lebih dulu (QS 22:39, 2:190)
2.
Islam dan kaum Muslim mendapat
gangguan yang akan mengancam eksistensinya (QS 8:39)
3.
Untuk menegakkan kebebasan
beragama (QS 8:39)
4.
Membela orang-orang yang
tertindas (QS 4:75). (http://www.risalahislam.com/2014/08/pengertian-jihad-yang-sebenarnya.html
diakses tanggal 19 Maret 2018)
[2] Banyak para ulama yang mendefinisikan tentang mati syahid. Definisi syahid menurut madzhab Hanafi adalah seorang Muslim yang meninggal dunia di kancah peperangan melawan kaum kafir, dan tidak al-murtats.(Dr. Mohammad Khair haekal, al-Jihad wa al-Qitaal, juz 2/1200). Sedangkan menurut Al-Syiraaziy mendefinisikan syahid dengan, “Seorang Muslim yang gugur dalam kancah jihad melawan orang-orang kafir karena sebab memerangi orang kafir sebelum berakhirnya peperangan, maka ia adalah syahid.” (Al-Syiraaziy, al-Muhadzdzab, juz 1/135).
0 Komentar