Ditulis oleh M. A. Iskandar
Kita mungkin tahu sosok Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan panggilan Buya Hamka. Seorang ulama ahli sastra, sejarah, otobiografi, dan politik melalui karya-karya dan pergaulannya yang luar biasa diakui kiprahnya di pentas nasional dan internasional. Kita juga pasti tahu sosok seperti K. H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K. H. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU), dan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli (salah seorang pendiri Perti) yang merupakan tokoh-tokoh pendiri organisasi Islam yang cukup berpengaruh di Indonesia. Mereka adalah para ulama yang memiliki peran sangat penting dalam upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun tahukah Anda, siapa sebenarnya guru mereka?
Beliau adalah Syeikh Ahmad Khatib
Minangkabau seorang ulama besar Minangkabau, ahli fiqh dan hukum Islam.Ia lahir
di Bukit Tinggi Sumatera Barat (dalam wikipedia disebutkan Koto Tuo, Balai Gurah, IV Angkek, Agam[1]) pada 1860. Sejak kecil Ahmad Khatib telah
dididik dengan ajaran Islam yang kuat terutama masalah akidah. Begitupun ketika
memiliki putera ia mengutamakan pendidikan akidah sebagai dasar pendidikannya.
Sebagaimana dituturkan Abdul Hamid Al
Khathib tentang bagaimana cara Syeikh Ahmad
Khatib mendidik anak-anaknya,
“Ketika
kecilku dulu, jika aku meminta sesuatu dari ayahku, ia akan berkata,’Mintalah
kepada Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta).’ Aku pun balik
bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia berada di langit sana,’ jawab
ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak melihat-Mu.’ Tidak selang
berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa yang kuminta seraya
berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang tadi kamu minta .’
Dulu
juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku dapatkan, maka aku pun
segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku telah meminta ini dan itu
kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku, yah?’ Ayah pun segera menjawab,
‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya
mungkin kamu sudah berlaku sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat salat,
atau mungkin kamu sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta
ampunlah kepada Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun
segera melakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
Dari penturuan ini kita bisa menyimpulkan bahwa
pendidikan pertama yang diajarkan Syeikh Ahmad Khatib kepada anak-anaknya
adalah penanaman akidah yang kuat yaitu bagaimana mereka mengenal Allah SWT. Ia
menekankan bahwa ketika manusia meminta pertolongan atau sesuatu hendaknya
kepada Allah saja. Apabila belum dikabulkan permohonannya maka hendaknya
manusia melakukan instropeksi diri. Bisa jadi permohonan, permintaan, atau doa
yang dipanjatkan belum dikabulkan oleh Allah karena dosa-dosa yang
dilakukannya. Inilah pelajaran penting yang perlu ditanamkan kepada anak-anak
dari sejak dini.
Ahmad Khatib memulai pembelajarannya di sekolah
rendah, kemudian ia melanjutkan pendidikannya di sekolah Raja di Bukit Tinggi. Sedangkan
ilmu-ilmu agama Islam ia pelajari dari ayahnya Abdul Latif Khatib. Keinginannya
untuk belajar Islam lebih mendalam semakin tinggi saat ayahnya mengajak pergi
haji ke Mekah pada 1871. Di sana ia belajar dengan ulama-ulama Saudi yang cukup
terkenal dan wawasan ilmunya yang luas seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin
Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Ia juga belajar kepada
Syeikh Saleh Kurdi dan menjadi murid kesayangannya. Syeikh Saleh Kurdi sangat
tertarik dengan kecerdasan dan kesalehan Ahmad Khatib. Ia pun kemudian menikahkan
puterinya, Khadijah binti Saleh Kurdi, dengan Ahmad Khatib.
Ahmad Khatib adalah seorang mutaalim (santri) sekaligus
mualim (guru) yang bisa menguasai berbagai disiplin ilmu. Ia tidak hanya
mendalami ilmu-ilmu agama yang berhubungan dengan masalah ibadah saja. Ia pun
mempelajari bidang ilmu-ilmu lain seperti ilmu hitung (matematika), aljabar, handasah (ilmu pengetahuan alam dan
teknologi), waris, miqat, dan zij. Hal ini sebagaimana dituturkan salah
seorang ulama yang sejaman dengannya yaitu Syaikh
‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39, “…Ia adalah santri teladan dalam semangat,
kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan
siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam
muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic (ilmu hitung), aljabar,
perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu miqat, dan zij,
ia dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari
guru (baca: otodidak).”
Karena keluasan ilmunya pula, Ahmad Khatib diangkat
menjadi imam dan guru Masjidil Haram. Namun ada dua kisah yang berbeda mengenai
bagaimana pengangkatan Ahmad Khatib menjadi imam Masjidil Haram. Kisah pertama disampaikan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar
wa Tarajim (hal. 39). Ia menyatakan bahwa jabatan imam dan khathib itu diperoleh Syaikhul Ahmad
Khatib Rahimahullah berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua, kepada
Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah
menjadi imam & khathib. Kisah yang kedua
disampaikan oleh Hamka yang diceritakan dalam bukunya Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Dalam kisahnya, diceritakan bahwa ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al
Khathib, suatu ketika dalam sebuah salat berjama’ah yang diimami langsung
Syarif ‘Aunur Rafiq. Di tengah salat, ternyata ada bacaan imam yang salah,
mengetahui itu Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah pun, yang ketika itu juga
menjadi makmum, dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai salat,
Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan bacaannya
tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah yang tak lain
adalah menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan
keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq mengangkat
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram
untuk madzhab Syafi’i.
Terlepas dari dua pendapat yang berbeda ini namun kita
bisa mengambil kesimpulan bahwa Ahmad Khatib adalah seseorang yang memiliki
wawasan ilmu pengetahuan yang sangat luas. Sahlih Al Kurdi tidak mungkin
meminta kepada Syarif ‘Aunur Rafiq untuk mengangkatnya menjadi imam apabila
Ahmad Khatib tidak memiliki wawasan keilmuan yang luas. Begitupun pada kisah
yang kedua, yang di sampaikan Hamka bahwa Ahmad Khatib membetulkan bacaan imam,
yang pada saat itu dimami Syarif ‘Aunur Rafiq, merupakan bukti bahwa Ahmad
Khatib seorang hafidz Qur’an.
Meski Syaikh Ahmad Khatib tinggal di Mekah namun ia
selalu mengikuti perkembangan-perkembangan yang terjadi di Indonesia. Ia
memberikan perhatian serius terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi
selama tinggal di sana melalui murid-muridnya yang datang dari Indonesia. Salah
satunya adalah ajaran tariqat Naqsyabandiah yang dianut oleh sebagian
masyarakat Minangkabau. Ia mengkritisi beberapa ajaran tariqat ini yang
dianggap menyimpang dari Quran dan Sunah, seperti dasar hukum syarak untuk tidak makan daging, suluk
40 hari, 20 hari, dan 10 hari, dasar hukum rabithah
dalam syariat Islam, dll. Kritikannya terhadap ajaran tariqat Naqsyabandiyah
ini, oleh Syaikh Ahmad Khatib dituliskan dalam sebuah kitab dengan judul Izhar Zagli al Kazibin fi Tasyabbuhihim bi
as-Sadiqin, al Ayat al Bayyinah li al Munsifin fi Izalah Khurafat ba’da al
Muta’assibin, dan As Saif al Battar
fi Magh Kalimah ba’da Ahli al Igtirar.
Selain itu ia pun mengkritisi pembagian harta waris
yang berlaku secara adat di Minangkabau. Dalam kitab yang ditulisnya tentang
masalah waris yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu dengan judul al Manhaj al Marsyu[2],
Syeikh Ahmad Khatib menuturkan bahwa harta pusaka yang diwarisi oleh kemenakan
adalah sama dengan harta rampasan. Perbuatan itu dikategorikan dosa besar
sehingga pelakunya harus bertobat apabila tidak maka ia telah murtad. Pendapat
ini mendapat pertentangan keras dari pemangku adat dan ulama Minangkabau. Meski
demikian, ia tetap meyakinkan pendapatnya itu kepada orang-orang yang belajar
kepadanya ia juga menyampaikan pendapatnya kepada orang-orang yang berhaji yang
berasal dari daerahnya.
Tidak hanya masalah kemasyarakatan dan ajaran tariqat,
Syeikh Ahmad Khatib juga memberikan perhatiannya pada masalah politik. Ia
memberikan kritik kepada muridnya, Hasyim Asy’ari, yang menganggap pendirian
Syarikat Islam oleh H. O. S. Tjokroaminoto sebagai bid’ah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Syeikh Ahmad Khatib
memberikan bantahan terhadap Hasyim Asy’ari melalui sebuah buku yang ditulisnya
pada 1332, dan mendapat kata sambutan dari beberapa ulama Masjidil Haram saat
itu untuk menunjukkan dukungannya terhadap Syarikat Islam[3]. Atas
bantahan ini, akhirnya Hasyim Asy’ari menyadari kekeliruan pandangannya
terhadap Syarikat Islam. Ia pun kemudian mengirim surat kepada Syeikh Ahmad
Khatib untuk meminta maaf.
Masalah politik lainnya yang menjadi perhatian Syeikh
Ahmad Kahtib adalah masalah kolonialisme. Pada saat itu dunia Islam memang
sedang di lingkupi oleh kolonialisme Barat. Ia sangat menentang kehadiran Barat
di negara-negara Islam termasuk Indonesia. Kolonialisme Barat tidak hanya
sebatas pada penguasaan wilayah dan ekonomi tetapi juga dalam masalah agama dan
budaya. Menurut H. Agus Salim, dalam sebuah seminar yang diadakan di Cornel
University (4 Maret 1953), sikap anti kolonialisme Syeikh Ahmad Khatib
ditinjukkannya kepada murid-muridnya yang belajar di sana dengan mengungkapkan
bahwa perang melawan penjajahan adalah salah satu bentuk jihad.
Sikap Syeikh Ahmad Khatib ini menginspirasi para
tokoh-tokoh ulama di Indonesia untuk melakukan pergerakan melawan penjajahan.
Bentuk-bentuk perlawanan melawan penjajahan tersebut dilakukan dengan cara-cara
yang berbeda. Ahmad Dahlan misalnya, beliau membuat organisasi Islam
Muhammadiyah, selain sebagai organisasi keagamaan ia juga berfungsi sebagai
organisasi politik. Begitu pula Hasyim Asy’ari melalui organisasi keagamaan NU,
meski memiliki pemahaman yang berbeda dengan Muhammadiyah namun keduanya
memiliki cita-cita politik untuk memerdekakan bangsa Indoensia dari penjajahan.
Sikap politik yang lebih terang ditunjukkan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli yang
mendirikan organisasi Perti. Organisasi ini pernah mengikuti Pemilu sehingga
Syeikh Sulaiman Ar-Rusuli pernah diangkat menjadi anggota konstituante dari
Perti pada 1950an.
Sumber:
Buku:
Hamid,
Shalahudin, dan Iskandar Ahza. 2003. 100
Tokoh Islam Yang Berpengaruh Di Indonesia. Jakarta: Intimedia Cipta
Nusantara
Suryanegara,
Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah:
Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bandung: Salamadani Pustaka semesta.
Poesponegoro,
Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia V/Marwati Djoened Poesponegoro: Nugroho. -cet.-2 Edisi Pemutakhiran.
Jakarta: Balai Pustaka.
Internet:
http://www.ipnu.or.id/kisah-perjalanan-hidup-syaikh-ahmad-khatib-al-minangkabawi-imam-besar-masjidil-haram/
diakses tanggal 19 Maret 2018
http://melayuonline.com/ind/personage/dig/322/syekh-ahmad-khatib-al-minankabawi
diakses pada tanggal 26 Maret 2018
http://nahdlatululama.id/blog/2017/11/02/syekh-ahmad-khatib-al-minangkabawi/
diakses tanggal 19 Maret 2018
[2] Kitab aslinya berjudul ad
da’I al Masmu fi ar Radd ‘ala man Yurisu al Ikhwan wa Aulad al Akhyat maa wujud
al-Usul wa al Furu ditulis 1891. Kitab ini berisi tentang hukum pembagian
waris menurut hukum Islam (faraidl).
Menurut Syeikh Ahmad Khatib seluruh harta pusaka yang diwarisi oleh kemenakan
adalah sama dengan harta rampasan. Perbuatan itu sendiri adalah dosa besar
karena berarti merampas harta benda anak yatim piatu. Menurutnya mereka yang melaksanakan
hukum warisan dengan cara yang berlaku di Minagkabau telah menjadi fasik dan harus bertobat. Jika tidak
maka ia akan menjadi murtad. (Hamid: 2003. Hal. 112).
[3] Syeikh Hasyim Asy’ari menulis buku Kaffu al Awwam an al Khaud fi Syarekat Islam yang isinya menganggap
pendirian SI adalah bid’ah dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, sehingga ia
melarang/menghalangi masyarakat untuk masuk ke dalam Syarikat Islam. Bantahan
terhadap Hasyim Asy’ari ditulis oleh Syeikh Ahmad Khatib melalui sebuah buku
yang berjudul Tanbih al Anam fi ar Radd
ala Risalah Kaffi al Awwam an al Khaud fi Syarikat Islam. Buku ini diberi
kata sambutan dari beberapa ulama Masjidil Haram sebagai bentuk dukungan
terhadap Syarikat Islam. (Hamid: 2003. Hal. 113)
0 Komentar