Ditulis oleh M. A. Iskandar
Hadir di saat terjadi perbedaan pendapat antara
Kaum Tua dan Kaum Muda serta polemik pernikahan yang melibatkan kelompok sayyid[1]
dan non-sayyid, kehadiran Syeikh
Ahmad Sukarti menjadi napas baru reformasi Islam pada masa itu. Awal
kedatangannya dikarenakan Jamiat Khair mencari guru-guru yang dipercaya bisa
memberikan dampak perubahan terhadap kondisi keagamaan dimana terjadi
perdebatan yang cukup tajam di antara beberapa ulama yang memiliki pandangan
berbeda terhadap masalah-masalah fiqih. Kehadiran Syeikh Ahmad Sukarti menjadi
sangat penting dalam upaya meluruskan beberapa pandangan yang selama ini tidak
sesuai dengan Quran dan Sunnah.
Jamiat
khair sendiri didirkan oleh kelompok sayyid
diantaranya Sayyid Al-Fachir bin Abdoerrahman al Masjhoer, Sayyid Mohammad bin
Abdoellah bin Shihab, Sayyid Idroes bin Achmad bin Shihab, dan Sayyid Syehan
bin Shihab. Syeikh Ahmad Khatib memiliki prinsip selama berpegang teguh pada
ajaran Quran dan Sunnah maka ia akan mempertahankan pendapatnya meski hal ini
ditentang oleh kalangan lain. Hal ini terbukti pada saat timbul polemik
mengenai perkawinan antara sayyid dan
non-sayyid. Selama ini para sayyid berpendapat bahwa perkawinan
antara sayyid dan non-sayyid adalah terlarang karena
dianggap tidak sekufu (sepadan). Menurut pandangan para sayyid, perkawinan
hanya boleh dilaksanakan dengan orang yang sekufu. Syeikh Ahmad Sukarti justru
memberikan pendapat yang sebaliknya. Ia memfatwakan bahwa perkawinan antara sayyid dan non-sayyid boleh dilakukan[2].
Ia juga menyatakan bahwa Islam tidak mengistimewakan kelompok berdasarkan
keturunan. Hal ini mendapat pertentangan dari para sayyid. Karena perbedaan ini, Syeikh Ahmad Sukarti memilih untuk
mengundurkan diri dari Jamiat Khair.
Meski
ia ditolak oleh golongan sayyid konservatif
namun justru sangat diterima oleh golongan bumiputera, kelompok sayyid modern, dan golongan non-sayyid. Bersama dengan Syeikh Umar
Manqush, Sa’id bin Salim Mash’abi, dan Salih Ubayd Abdat, serta Syeikh Salim
bin Awad Balwa’I, mereka mendirikan Al-Irsyad pada 6 September 1914. Penamaan
“Irsyad” terinpirasi atas perjuangan Rashid Ridha yang menghendaki agar setiap
muslim mengabdikan dirinya untuk membangun madrasah. Rashid Ridha merupakan
pendiri dari Jam’iyat al-Da’wah wa Al-Irsyad.
Pendirian
Al-Irsyad ini mendapat sambutan positif dari tokoh bumiputra seperti K. H.
Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Haji Zamzam (pendiri Persis). Ketiganya
sepakat untuk melakukan pemurnian ajaran Islam di Indonesia yang selama ini
telah tercampur dengan takhayul, bid’ah dan khurafat. K. H. Ahmad Dahlan
memfokuskan perhatiannya pada masyarakat pribumi sedangkan Syeikh Ahmad Sukarti
memberikan perhatiannya pada masyarakat Arab yang ada di Indonesia. Sementara
itu, Haji Zamzam memfokuskan pergerakannya melalui pendidikan dan penerbitan.
Melalui
ketiga tokoh ini, upaya pemurnian ajaran Islam yang sesuai dengan Quran dan
Sunnah terus diperjuangkan. Mereka mengembangkan ajaran-ajaran yang sesuai
dengan Al-Quran dan Sunnah sebagaimana Nabi Muhammad SAW, para sahabat, atau
para sahabat setelah Nabi SAW wafat. Menurut sejarawan Abubakar Aceh, Syeikh Ahmad Surkati bisa
dianggap sebagai pelopor gerakan salaf di
Jawa[3].
Hal-hal yang menjadi perhatian upaya pemurnian ini diantaranya soal ushalli, ritual-ritual tradisional yang
dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan upaya untuk membuat keputusan
hukum berdasar kepada sumber-sumber asli yaitu Al-Quran dan Hadits.
Pandangan-pandangan
Ahmad Surkati mengenai nasalah-masalah keislaman ia tuangkan dalam buletin
Ad-Dakhirah yang terbit antara tahun 1923 – 1924. Selain buletin ia juga
menerbitkan risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan H. O. S.
Tjokroaminoto, dalam surat kabar Suluh Hindia, seputar fatwa yang
dikeluarkannya yang berhubungan dengan kaum sayyid.
Risalah yang menjelaskan tentang sayyid itu bernama Surat Al-Jawab. Penerbitan
buletin dan risalah ini adalah upaya Syeikh Ahmad Surkati untuk menghindari
debat terbuka yang bisa memicu perpecahan umat.
Secara garis besar, isi dari Surat Al Jawab yaitu pertama ajakan untuk patuh dan tunduk
pada hukum Allah. Dalam menjalankan perintah itu, ia harus benar-benar
melakukannya sesuai dengan perintah nabi dan tidak mencampuradukkannya dengan
kemusyrikan, takhayul, dan bid’ah. Kedua,
keputusan-keputusan hukum yang dilaksanakan oleh Rasulullah dan diikuti para
sahabat harus diteladani dan dilaksanakan. Ini berarti umat muslim harus
mendasarkan hukumnya kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Dalam hal ini
termasuk juga meluruskan pandangan golongan sayyid
bahwa kafa’ah (perkawinan sekufu) bukanlah perkawinan di antara segolongan
mereka sendiri seperti pandangan golongan sayyid
selama ini.
Syeikh Ahmad Surkati juga menyoroti berbagai tradisi
di Indonesia yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Maka
satu-satunya solusi untuk memurnikan ajaran Islam yaitu kembali kepada ajaran
Islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Itulah tujuan sebenarnya dari
gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Syeikh Ahmad Surkati. Untuk melakukan
pembaharuan pemikiran Islam, Syeikh Ahmad melakukan strateginya dalam beberapa
tahapan. Pertama, memperlihatkan
hadits-hadits palsu dan kisah-kisah yang direkayasa namun dipercaya sebagai
ajaran Islam. Kedua, sebagai
pembuktian ajaran-ajaran yang kontra terhadap Islam adalah salah maka harus
menggunakan dalil dari Al-Quran dan Hadits yang sahih. Ketiga, menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan kebaikan,
sesuai dengan jaman apapun dan cocok diterapkan di negara manapun. Sehubungan
dengan pandangan ini maka Syeikh Ahmad Surkati berupaya untuk menanamkan paham
kebangsaan (nasionalisme) yang lebih luas tidak hanya dalam konsep negara. Keempat, mendorong kaum muslim agar
mengikuti kemajuan jaman sehingga tidak didikte oleh kekuasaan asing.
Banyak hal yang ia soroti dalam masalah pemurnian
akidah diantaranya talqin bagi orang
yang sudah meninggal atau baru dikuburkan. Ia juga menyoroti tentang ushalli (niat yang diucapkan) yang
menurutnya perkara yang tidak pernah dicontohkan nabi. Mengenai ijtihad, Syeikh
Ahmad Surkati melihat bahwa hal ini harus benar-benar melalui kajian yang
sangat mendalam. Ijtihad dilakukan melalui beberapa tahap diantaranya pertama, apabila teks Al-Quran tidak
jelas. Kedua, apabila teks hadits
tidak jelas. Ketiga, jika Al-Quran
dan Hadits hanya menetapkan prinsip umum dan bukan perintah jelas. Keempat, masalah yang diijtihadkan tidak
dibahas dalam Al-Quran dan Hadits, karena itu dalam hal ini akallah yang
berperan. Namun perkara ijtihad menggunakan akal harus orang-orang yang
mempunyai pengetahuan dan sanggup untuk memikirkannya.
Tentang masalah ibadah, Ahmad Surkati membaginya
menjadi dua yaitu ibadah untuk Allah yang dikategorikan sebagai al-Aqaid (pernyataan keyakinan) maka
tidak bisa dijelaskan dengan ijtihad maupun qiyas (analogi) sehingga tidak bisa
ditambah atau dikurangi dan ibadah yang berhubungan dengan manusia
(masyarakat). Untuk hal ini, Syeikh Ahmad Surkati memandang terbuka luas untuk
melaksanakan ijtihad namun harus memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Dalam
hal ini pula, Syeikh Ahmad Surkati menjelaskan semua muslim harus mempelajari
ilmu pengetahuan alam dan sosial untuk mencari kebahagiaan dunia.
Syeikh Ahmad Surkati melarang seseorang untuk taqlid buta karena seseorang harus
bersungguh-sungguh untuk mempelajari Islam sesuai dengan kemampuannya. Agar
tidak terjebak dalam taqlid buta,
orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang Islam harus ittiba (mengikuti) atau ta’assi
(peniruan) terhadap ulama yang terkenal memiliki kemampuan intelektual tinggi.
saleh, dan selalu mengkaji kebenaran ucapan-ucapannya. Mengenai sunnah, Syeikh Ahmad berpendapat bahwa
itu merupakan perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW selain dari
Al-Quran. Ia menolak dengan tegas pendapat yang menyatakan sunnah merupakan
suatu cara yang baru dan belum jelas asal-usulnya karena ajaran Islam yang
disampaikan Nabi Muhammad SAW sudah sempurna sehingga tidak boleh menambahkan
atau mengurangi. Namun untuk urusan dunia pintu pembaharuan, baik itu
pengurangan ataupun penambahan sangat dianjurkan.
Selain masalah-masalah yang telah disebutkan di atas,
banyak masalah-masalah lain yang menjadi sorotan Syeikh Ahmad Surkati menjadi
perhatian dalam rangka memurnikan ajaran Islam yang sesuai dengan Quran dan
Sunnah. Hal ini membuat keguncangan di antara umat muslim Indonesia yang memang
telah terbiasa melakukan hal-hal itu. Banyak terjadi fitnah terhadap sosok
Syeikh Ahmad Surkati. Meski demikian, tidak menjadikan perjuangan Syeikh Ahmad
Surkati untuk menyampaikan kebenaran menjadi surut. Justru Al-Irsyad sebagai
lembaga pendidikan berkembang sangat pesat. Sejak 1917 - 1919, madrasah
Al-Irsyad membuka cabangnya di Surabaya, Tegal, Pekalongan, Cirebon, dan
Bumiayu. Prinsipnya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia adalah fokus
terhadap moralitas (akhlak) dan menata hati untuk hanya takut kepada Allah SWT.
“Sekolah adalah
rumah pengetahuan serta lembaga pengajaran dan pelatihan, tetapi sekolah
terbaik adalah sekolah yang difokuskan untuk mengembangkan moralitas … Sekolah
Islam yang benar adalah sekolah yang difokuskan untuk mengisi hati akan
ketakutan kepada Allah …”.
Walaupun Syeikh Ahmad Surkati bukan orang Indonesia
asli namun memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Nasionalisme yang dikembangkan Syeikh Ahmad Surkati bukan nasionalisme sempit
tetapi nasionalisme berdasarkan ajaran Islam sehingga tidak mengenal
batas-batas negara. Ia sendiri berasal dari Sudan, negara yang juga bernasib
sama dengan Indonesia dalam cengkraman penjajah kolonial. Karena itu, Syeikh
Ahmad Surkati mendukung upaya kemerdekaan Indonesia. Peran Syeikh Ahmad Surkati
dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia secara nyata dapat terlihat dari
pernyataannya bahwa “Indonesia bisa
merdeka dengan Islam, bukan dengan Komunis atau ideologi lainnya.”
Pernyataan ini ia lontarkan saat terjadi debat dengan Semaun, tokoh Sarekat
Islam Merah, dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922.
Dukungan Syeikh Ahmad Surkati semakin nampak pada saat
ia menjadi “guru spiritual” bagi Jong Islamitien Bond, sebuah organisasi yang
didirikan oleh para pemuda terpelajar muslim pada 1 Januari 1952. Tokoh-tokoh
seperti M. Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, A. Hasan, dan tokoh-tokoh lainnya banyak belajar
kepadanya sehingga tidak heran para tokoh ini memiliki prinsip yang sama
mengenai nasionalisme. Mereka menghendaki nasionalisme berdasakan Islam
sehingga tidak mengenal batas-batas negara dan wilayah karena ajaran Islam
bersifat universal yang berlaku bagi seluruh manusia di semua negara.
Ahmad
Hasan pula yang memperkenalkan Syeikh Ahmad Surkati kepada Soekarno ketika ia
masih dalam masa pembuangan di Ende. Soekarno lebih sering mengunjungi Syeikh
Ahmad Surkati ketika ia dibebaskan dari masa pembuangannya di tahun 1940. Namun
saat itu kedua mata Syeikh Ahmad Surkati telah buta. Di saat meninggalnya, Soekarno
mengatakan bahwa "Almarhum telah
ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia."
Syeikh
Ahmad Surkati memang dikenal sebagai tokoh yang keras menentang penjajahan. Di
masa penjajahan Belanda, sebagaimana dituturkan G.F. Pijper, salah seorang penasihat pemerintah
Hindia Belanda menjelang kedatangan Jepang ke Indonesia, menuliskan: "Sebagai
seorang Muslim yang baik, dia menjauhkan diri dari para pejabat pemerintah.
Tentu saja dia bukanlah tipe seorang sahabat pemerintah Kolonial…."
Keteguhan
prinsip Syeikh Ahmad Surkati juga diungkapkan oleh H. Abdul Karim Amrullah,
ayah dari Hamka sebagaimana dikisahkan berikut:
Hamka bertanya kepada ayahnya tentang seseorang yang
dipandang sebagai ulama besar di Jawa. Ayahnya menjawab, "Hanya Syekh Ahmad
Surkati." Hamka bertanya kembali, "Tentang apanya?"
"Dialah yang teguh pendirian. Walaupun kedua belah
matanya telah buta, masih tetap mempertahankan agama dan menyatakannya dengan
terus terang, terutama terhadap pemerintah Jepang. Ilmunya amat dalam, fahamnya amat luas dan hati
sangat tawadu."
Syeikh
Ahmad Surkati adalah seorang tokoh ulama kharismatik yang turut memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Dari beliau lahir tokoh-tokoh intelektual pelopor
perjuangan pergerakan kebangsaan di Indonesia. Meski bukan orang asli
Indonesia, Syeikh Ahmad Surkati telah menunjukkan kepada masyarakat Indonesia
bahwa memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan bukan hanya tugas dan
kewajiban warga negaranya semata. Siapapun dan darimanapun memiliki kewajiban
membantu sesamanya agar terbebas dari penindasan. Semua orang meiliki derajat
yang sama dihadapan Allah SWT. Karena itu, tidak boleh ada yang merasa menguasai
bahkan menjajah kemerdekaan orang lain.
Sumber
Buku:
Aceh,
Abubakar. 1970. Salaf. Jakarta: Permata.
Hamid,
Shalahudin, dan Iskandar Ahza. 2003. 100
Tokoh Islam Yang Berpengaruh Di Indonesia. Jakarta: Intimedia Cipta
Nusantara
Pijper, G. F. 1984. Beberapa Studi
tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 - 1950, terj. Oleh Prof. Dr. Tudjimah
dan Drs. Yessy Dagusdin. Jakarta: Universitas Indonesia.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V/Marwati Djoened Poesponegoro: Nugroho. -cet.-2 Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Suryanegara,
Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah:
Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bandung: Salamadani Pustaka semesta.
Internet
https://daerah.sindonews.com/read/1239825/29/syekh-ahmad-surkati-sang-guru-dan-sahabat-para-tokoh-pejuang-1505420968/13 diakses tanggal 28 Maret
2018
http://www.ahmadsurkati.com/
diakses tanggal 28 Maret 2018
http://www.alirsyad.or.id/syekh-ahmad-surkati-al-irsyad-dan-pendidikan-multi-dimensi
diakses tanggal 28 Maret 2018
https://www.dakwatuna.com/2015/06/24/70650/pengaruh-syeikh-as-surkati-dan-al-irsyad-di-indonesia/#ixzz5B0W8yupo diakses
tanggal 28 Maret 2018
http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/11/18/ozlzug415-alirsyad-usulkan-syekh-ahmad-surkati-jadi-pahlawan-nasional
diakses tanggal 28 Maret 2018
http://www.ahmadsurkati.com/ahmad-surkati-dan-masa-kecil-di-sudan/#more-52 diakses tanggal 28 Maret
2018
[1] Sayyid (bahasa Arab:
سيد) (jamak : Sādah, bahasa Arab:
سادة) (Bahasa Indonesia : Tuan) adalah gelar kehormatan yang
diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW
melalui cucu dia, Hasan bin Ali dan Husain bin
Ali, yang merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad
SAW, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib. Keturunan wanita
mendapatkan gelar berupa Sayyidah, Alawiyah, Syarifah atau Sharifah.
Beberapa kalangan muslim juga menggunakan gelar sayyid untuk
orang-orang yang masih keturunan Abu Thalib,
paman Nabi Muhammad, yaitu Abbas, serta Ja'far, Aqil dan Thalib. (https://id.wikipedia.org/wiki/Sayyid).
[2] Prof. Dr. Bisri Affandi, MA menjelaskan bahwa perselisihan itu terjadi tatkala pengurus Jamiat Khair memperoleh laporan negatif tentang Ahmad Surkati, yaitu ketika perjalanan keliling Jawa Tengah, sebagai tamu golongan Arab Alawi (sayyid red.), ia singgah di Solo dan diterima di rumah al-Hamid dari keluarga al-Azami. Saat itulah Sa’ad bin Sungkar bertanya tentang hukum perkawinan antara gadis keturunan Alawi dengan pria bukan keturunan Alawi menurut syariat Islam. Jawaban Ahmad Surkati singkat dan tegas: “Boleh menurut hukum syara’ yang adil.” Jawaban yang dikenal sebagai “Fatwa Solo” itu telah mengguncang masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa itu dianggap sebagai penghinaan, dan mereka menuntut pada pengurus Jamiat Khair agar Ahmad Surkati mau mencabut fatwanya. Permintaan pencabutan fatwa itu dijawab oleh Ahmad Surkati, bahwa apa yang dia sampaikan benar, baik dilihat dari Al-Qur’an maupun hadits. Sebab itu, dia keberatan menarik fatwanya, dan ia sama sekali tak ingin mencampuri urusan mereka mengenai setuju-tidaknya. (http://www.ahmadsurkati.com/).
[3] Abubakar Aceh, Salaf, Permata, Jakarta, 1970, hal. 27
0 Komentar