Advertisement

Responsive Advertisement

Syeik Ahmad Surkati: Keteguhan Di Atas Quran dan Sunnah

Ditulis oleh M. A. Iskandar


Sumber Foto:
http://www.ahmadsurkati.com/ahmad-surkati-dan-masa-kecil-di-sudan/#more-52 diakses tanggal 28 Maret 2018

Hadir di saat terjadi perbedaan pendapat antara Kaum Tua dan Kaum Muda serta polemik pernikahan yang melibatkan kelompok sayyid[1] dan non-sayyid, kehadiran Syeikh Ahmad Sukarti menjadi napas baru reformasi Islam pada masa itu. Awal kedatangannya dikarenakan Jamiat Khair mencari guru-guru yang dipercaya bisa memberikan dampak perubahan terhadap kondisi keagamaan dimana terjadi perdebatan yang cukup tajam di antara beberapa ulama yang memiliki pandangan berbeda terhadap masalah-masalah fiqih. Kehadiran Syeikh Ahmad Sukarti menjadi sangat penting dalam upaya meluruskan beberapa pandangan yang selama ini tidak sesuai dengan Quran dan Sunnah.

Jamiat khair sendiri didirkan oleh kelompok sayyid diantaranya Sayyid Al-Fachir bin Abdoerrahman al Masjhoer, Sayyid Mohammad bin Abdoellah bin Shihab, Sayyid Idroes bin Achmad bin Shihab, dan Sayyid Syehan bin Shihab. Syeikh Ahmad Khatib memiliki prinsip selama berpegang teguh pada ajaran Quran dan Sunnah maka ia akan mempertahankan pendapatnya meski hal ini ditentang oleh kalangan lain. Hal ini terbukti pada saat timbul polemik mengenai perkawinan antara sayyid dan non-sayyid. Selama ini para sayyid berpendapat bahwa perkawinan antara sayyid dan non-sayyid adalah terlarang karena dianggap tidak sekufu (sepadan). Menurut pandangan para sayyid, perkawinan hanya boleh dilaksanakan dengan orang yang sekufu. Syeikh Ahmad Sukarti justru memberikan pendapat yang sebaliknya. Ia memfatwakan bahwa perkawinan antara sayyid dan non-sayyid boleh dilakukan[2]. Ia juga menyatakan bahwa Islam tidak mengistimewakan kelompok berdasarkan keturunan. Hal ini mendapat pertentangan dari para sayyid. Karena perbedaan ini, Syeikh Ahmad Sukarti memilih untuk mengundurkan diri dari Jamiat Khair.

Meski ia ditolak oleh golongan sayyid konservatif namun justru sangat diterima oleh golongan bumiputera, kelompok sayyid modern, dan golongan non-sayyid. Bersama dengan Syeikh Umar Manqush, Sa’id bin Salim Mash’abi, dan Salih Ubayd Abdat, serta Syeikh Salim bin Awad Balwa’I, mereka mendirikan Al-Irsyad pada 6 September 1914. Penamaan “Irsyad” terinpirasi atas perjuangan Rashid Ridha yang menghendaki agar setiap muslim mengabdikan dirinya untuk membangun madrasah. Rashid Ridha merupakan pendiri dari Jam’iyat al-Da’wah wa Al-Irsyad.

Pendirian Al-Irsyad ini mendapat sambutan positif dari tokoh bumiputra seperti K. H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Haji Zamzam (pendiri Persis). Ketiganya sepakat untuk melakukan pemurnian ajaran Islam di Indonesia yang selama ini telah tercampur dengan takhayul, bid’ah dan khurafat. K. H. Ahmad Dahlan memfokuskan perhatiannya pada masyarakat pribumi sedangkan Syeikh Ahmad Sukarti memberikan perhatiannya pada masyarakat Arab yang ada di Indonesia. Sementara itu, Haji Zamzam memfokuskan pergerakannya melalui pendidikan dan penerbitan.

Melalui ketiga tokoh ini, upaya pemurnian ajaran Islam yang sesuai dengan Quran dan Sunnah terus diperjuangkan. Mereka mengembangkan ajaran-ajaran yang sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah sebagaimana Nabi Muhammad SAW, para sahabat, atau para sahabat setelah Nabi SAW wafat. Menurut sejarawan Abubakar Aceh, Syeikh Ahmad Surkati bisa dianggap sebagai pelopor gerakan salaf di Jawa[3]. Hal-hal yang menjadi perhatian upaya pemurnian ini diantaranya soal ushalli, ritual-ritual tradisional yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan upaya untuk membuat keputusan hukum berdasar kepada sumber-sumber asli yaitu Al-Quran dan Hadits.

Pandangan-pandangan Ahmad Surkati mengenai nasalah-masalah keislaman ia tuangkan dalam buletin Ad-Dakhirah yang terbit antara tahun 1923 – 1924. Selain buletin ia juga menerbitkan risalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan H. O. S. Tjokroaminoto, dalam surat kabar Suluh Hindia, seputar fatwa yang dikeluarkannya yang berhubungan dengan kaum sayyid. Risalah yang menjelaskan tentang sayyid itu bernama Surat Al-Jawab. Penerbitan buletin dan risalah ini adalah upaya Syeikh Ahmad Surkati untuk menghindari debat terbuka yang bisa memicu perpecahan umat.

Secara garis besar, isi dari Surat Al Jawab yaitu pertama ajakan untuk patuh dan tunduk pada hukum Allah. Dalam menjalankan perintah itu, ia harus benar-benar melakukannya sesuai dengan perintah nabi dan tidak mencampuradukkannya dengan kemusyrikan, takhayul, dan bid’ah. Kedua, keputusan-keputusan hukum yang dilaksanakan oleh Rasulullah dan diikuti para sahabat harus diteladani dan dilaksanakan. Ini berarti umat muslim harus mendasarkan hukumnya kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. Dalam hal ini termasuk juga meluruskan pandangan golongan sayyid bahwa kafa’ah (perkawinan sekufu) bukanlah perkawinan di antara segolongan mereka sendiri seperti pandangan golongan sayyid selama ini.

Syeikh Ahmad Surkati juga menyoroti berbagai tradisi di Indonesia yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan ajaran Islam. Maka satu-satunya solusi untuk memurnikan ajaran Islam yaitu kembali kepada ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Itulah tujuan sebenarnya dari gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Syeikh Ahmad Surkati. Untuk melakukan pembaharuan pemikiran Islam, Syeikh Ahmad melakukan strateginya dalam beberapa tahapan. Pertama, memperlihatkan hadits-hadits palsu dan kisah-kisah yang direkayasa namun dipercaya sebagai ajaran Islam. Kedua, sebagai pembuktian ajaran-ajaran yang kontra terhadap Islam adalah salah maka harus menggunakan dalil dari Al-Quran dan Hadits yang sahih. Ketiga, menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang menganjurkan kebaikan, sesuai dengan jaman apapun dan cocok diterapkan di negara manapun. Sehubungan dengan pandangan ini maka Syeikh Ahmad Surkati berupaya untuk menanamkan paham kebangsaan (nasionalisme) yang lebih luas tidak hanya dalam konsep negara. Keempat, mendorong kaum muslim agar mengikuti kemajuan jaman sehingga tidak didikte oleh kekuasaan asing.

Banyak hal yang ia soroti dalam masalah pemurnian akidah diantaranya talqin bagi orang yang sudah meninggal atau baru dikuburkan. Ia juga menyoroti tentang ushalli (niat yang diucapkan) yang menurutnya perkara yang tidak pernah dicontohkan nabi. Mengenai ijtihad, Syeikh Ahmad Surkati melihat bahwa hal ini harus benar-benar melalui kajian yang sangat mendalam. Ijtihad dilakukan melalui beberapa tahap diantaranya pertama, apabila teks Al-Quran tidak jelas. Kedua, apabila teks hadits tidak jelas. Ketiga, jika Al-Quran dan Hadits hanya menetapkan prinsip umum dan bukan perintah jelas. Keempat, masalah yang diijtihadkan tidak dibahas dalam Al-Quran dan Hadits, karena itu dalam hal ini akallah yang berperan. Namun perkara ijtihad menggunakan akal harus orang-orang yang mempunyai pengetahuan dan sanggup untuk memikirkannya.

Tentang masalah ibadah, Ahmad Surkati membaginya menjadi dua yaitu ibadah untuk Allah yang dikategorikan sebagai al-Aqaid (pernyataan keyakinan) maka tidak bisa dijelaskan dengan ijtihad maupun qiyas (analogi) sehingga tidak bisa ditambah atau dikurangi dan ibadah yang berhubungan dengan manusia (masyarakat). Untuk hal ini, Syeikh Ahmad Surkati memandang terbuka luas untuk melaksanakan ijtihad namun harus memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Dalam hal ini pula, Syeikh Ahmad Surkati menjelaskan semua muslim harus mempelajari ilmu pengetahuan alam dan sosial untuk mencari kebahagiaan dunia.

Syeikh Ahmad Surkati melarang seseorang untuk taqlid buta karena seseorang harus bersungguh-sungguh untuk mempelajari Islam sesuai dengan kemampuannya. Agar tidak terjebak dalam taqlid buta, orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang Islam harus ittiba (mengikuti) atau ta’assi (peniruan) terhadap ulama yang terkenal memiliki kemampuan intelektual tinggi. saleh, dan selalu mengkaji kebenaran ucapan-ucapannya. Mengenai sunnah, Syeikh Ahmad berpendapat bahwa itu merupakan perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW selain dari Al-Quran. Ia menolak dengan tegas pendapat yang menyatakan sunnah merupakan suatu cara yang baru dan belum jelas asal-usulnya karena ajaran Islam yang disampaikan Nabi Muhammad SAW sudah sempurna sehingga tidak boleh menambahkan atau mengurangi. Namun untuk urusan dunia pintu pembaharuan, baik itu pengurangan ataupun penambahan sangat dianjurkan.

Selain masalah-masalah yang telah disebutkan di atas, banyak masalah-masalah lain yang menjadi sorotan Syeikh Ahmad Surkati menjadi perhatian dalam rangka memurnikan ajaran Islam yang sesuai dengan Quran dan Sunnah. Hal ini membuat keguncangan di antara umat muslim Indonesia yang memang telah terbiasa melakukan hal-hal itu. Banyak terjadi fitnah terhadap sosok Syeikh Ahmad Surkati. Meski demikian, tidak menjadikan perjuangan Syeikh Ahmad Surkati untuk menyampaikan kebenaran menjadi surut. Justru Al-Irsyad sebagai lembaga pendidikan berkembang sangat pesat. Sejak 1917 - 1919, madrasah Al-Irsyad membuka cabangnya di Surabaya, Tegal, Pekalongan, Cirebon, dan Bumiayu. Prinsipnya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia adalah fokus terhadap moralitas (akhlak) dan menata hati untuk hanya takut kepada Allah SWT.

“Sekolah adalah rumah pengetahuan serta lembaga pengajaran dan pelatihan, tetapi sekolah terbaik adalah sekolah yang difokuskan untuk mengembangkan moralitas … Sekolah Islam yang benar adalah sekolah yang difokuskan untuk mengisi hati akan ketakutan kepada Allah …”.

Walaupun Syeikh Ahmad Surkati bukan orang Indonesia asli namun memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme yang dikembangkan Syeikh Ahmad Surkati bukan nasionalisme sempit tetapi nasionalisme berdasarkan ajaran Islam sehingga tidak mengenal batas-batas negara. Ia sendiri berasal dari Sudan, negara yang juga bernasib sama dengan Indonesia dalam cengkraman penjajah kolonial. Karena itu, Syeikh Ahmad Surkati mendukung upaya kemerdekaan Indonesia. Peran Syeikh Ahmad Surkati dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia secara nyata dapat terlihat dari pernyataannya bahwa “Indonesia bisa merdeka dengan Islam, bukan dengan Komunis atau ideologi lainnya.” Pernyataan ini ia lontarkan saat terjadi debat dengan Semaun, tokoh Sarekat Islam Merah, dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922.

Dukungan Syeikh Ahmad Surkati semakin nampak pada saat ia menjadi “guru spiritual” bagi Jong Islamitien Bond, sebuah organisasi yang didirikan oleh para pemuda terpelajar muslim pada 1 Januari 1952. Tokoh-tokoh seperti M. Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, A. Hasan,  dan tokoh-tokoh lainnya banyak belajar kepadanya sehingga tidak heran para tokoh ini memiliki prinsip yang sama mengenai nasionalisme. Mereka menghendaki nasionalisme berdasakan Islam sehingga tidak mengenal batas-batas negara dan wilayah karena ajaran Islam bersifat universal yang berlaku bagi seluruh manusia di semua negara.

Ahmad Hasan pula yang memperkenalkan Syeikh Ahmad Surkati kepada Soekarno ketika ia masih dalam masa pembuangan di Ende. Soekarno lebih sering mengunjungi Syeikh Ahmad Surkati ketika ia dibebaskan dari masa pembuangannya di tahun 1940. Namun saat itu kedua mata Syeikh Ahmad Surkati telah buta. Di saat meninggalnya, Soekarno mengatakan bahwa "Almarhum telah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia."   

Syeikh Ahmad Surkati memang dikenal sebagai tokoh yang keras menentang penjajahan. Di masa penjajahan Belanda, sebagaimana dituturkan G.F. Pijper, salah seorang penasihat pemerintah Hindia Belanda menjelang kedatangan Jepang ke Indonesia, menuliskan: "Sebagai seorang Muslim yang baik, dia menjauhkan diri dari para pejabat pemerintah. Tentu saja dia bukanlah tipe seorang sahabat pemerintah Kolonial…."

Keteguhan prinsip Syeikh Ahmad Surkati juga diungkapkan oleh H. Abdul Karim Amrullah, ayah dari Hamka sebagaimana dikisahkan berikut:

Hamka bertanya kepada ayahnya tentang seseorang yang dipandang sebagai ulama besar di Jawa. Ayahnya menjawab, "Hanya Syekh Ahmad Surkati." Hamka bertanya kembali, "Tentang apanya?"

"Dialah yang teguh pendirian. Walaupun kedua belah matanya telah buta, masih tetap mempertahankan agama dan menyatakannya dengan terus terang, terutama terhadap pemerintah Jepang. Ilmunya amat dalam, fahamnya amat luas dan hati sangat tawadu."  

Syeikh Ahmad Surkati adalah seorang tokoh ulama kharismatik yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari beliau lahir tokoh-tokoh intelektual pelopor perjuangan pergerakan kebangsaan di Indonesia. Meski bukan orang asli Indonesia, Syeikh Ahmad Surkati telah menunjukkan kepada masyarakat Indonesia bahwa memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan bukan hanya tugas dan kewajiban warga negaranya semata. Siapapun dan darimanapun memiliki kewajiban membantu sesamanya agar terbebas dari penindasan. Semua orang meiliki derajat yang sama dihadapan Allah SWT. Karena itu, tidak boleh ada yang merasa menguasai bahkan menjajah kemerdekaan orang lain.

Sumber

Buku:

Aceh, Abubakar. 1970. Salaf. Jakarta: Permata.

Hamid, Shalahudin, dan Iskandar Ahza. 2003. 100 Tokoh Islam Yang Berpengaruh Di Indonesia. Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara

Pijper, G. F. 1984. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 - 1950, terj. Oleh Prof. Dr. Tudjimah dan Drs. Yessy Dagusdin. Jakarta: Universitas Indonesia.

Poesponegoro, Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional Indonesia V/Marwati Djoened Poesponegoro: Nugroho. -cet.-2 Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.

Suryanegara, Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bandung: Salamadani Pustaka semesta.

Internet

https://daerah.sindonews.com/read/1239825/29/syekh-ahmad-surkati-sang-guru-dan-sahabat-para-tokoh-pejuang-1505420968/13 diakses tanggal 28 Maret 2018

http://www.ahmadsurkati.com/ diakses tanggal 28 Maret 2018

http://www.alirsyad.or.id/syekh-ahmad-surkati-al-irsyad-dan-pendidikan-multi-dimensi diakses tanggal 28 Maret 2018

https://www.dakwatuna.com/2015/06/24/70650/pengaruh-syeikh-as-surkati-dan-al-irsyad-di-indonesia/#ixzz5B0W8yupo diakses tanggal 28 Maret 2018

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/11/18/ozlzug415-alirsyad-usulkan-syekh-ahmad-surkati-jadi-pahlawan-nasional diakses tanggal 28 Maret 2018

http://www.ahmadsurkati.com/ahmad-surkati-dan-masa-kecil-di-sudan/#more-52 diakses tanggal 28 Maret 2018

http://historia.id/agama/empat-tokoh-islam-di-indonesia diakses tanggal 28 Maret 2018


[1] Sayyid (bahasa Arab: سيد‎) (jamak : Sādahbahasa Arab: سادة) (Bahasa Indonesia : Tuan) adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucu dia, Hasan bin Ali dan Husain bin Ali, yang merupakan anak dari anak perempuan Nabi Muhammad SAW, Fatimah az-Zahra dan menantunya Ali bin Abi Thalib. Keturunan wanita mendapatkan gelar berupa SayyidahAlawiyahSyarifah atau Sharifah. Beberapa kalangan muslim juga menggunakan gelar sayyid untuk orang-orang yang masih keturunan Abu Thalib, paman Nabi Muhammad, yaitu Abbas, serta Ja'farAqil dan Thalib. (https://id.wikipedia.org/wiki/Sayyid).

[2] Prof. Dr. Bisri Affandi, MA menjelaskan bahwa perselisihan itu terjadi tatkala pengurus Jamiat Khair memperoleh laporan negatif tentang Ahmad Surkati, yaitu ketika perjalanan keliling Jawa Tengah, sebagai tamu golongan Arab Alawi (sayyid red.), ia singgah di Solo dan diterima di rumah al-Hamid dari keluarga al-Azami. Saat itulah Sa’ad bin Sungkar bertanya tentang hukum perkawinan antara gadis keturunan Alawi dengan pria bukan keturunan Alawi menurut syariat Islam. Jawaban Ahmad Surkati singkat dan tegas: “Boleh menurut hukum syara’ yang adil.” Jawaban yang dikenal sebagai “Fatwa Solo” itu telah mengguncang masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa itu dianggap sebagai penghinaan, dan mereka menuntut pada pengurus Jamiat Khair agar Ahmad Surkati mau mencabut fatwanya. Permintaan pencabutan fatwa itu dijawab oleh Ahmad Surkati, bahwa apa yang dia sampaikan benar, baik dilihat dari Al-Qur’an maupun hadits. Sebab itu, dia keberatan menarik fatwanya, dan ia sama sekali tak ingin mencampuri urusan mereka mengenai setuju-tidaknya. (http://www.ahmadsurkati.com/).

[3] Abubakar Aceh, Salaf, Permata, Jakarta, 1970, hal. 27

Posting Komentar

0 Komentar