Ditulis oleh M. A. Iskandar
Sumber foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Natsir_Harian_Umum_26_October_1950.jpg
Indonesia sudah
sepantasnya berterima kasih kepada Mohammad Natsir. Tanpa ide brilian dari
Mohamad Natsir bisa jadi akan sulit mewujudkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Beliaulah yang menyampaikan Mosi Integral yaitu upaya penyatuan
kembali negara-negara boneka buatan Belanda (BFO) dalam satu kesatuan NKRI. Ia
pernah mengutus A. Hasan yang merupakan pimpinan Persis sekaligus gurunya
ketika di Bandung[1],
untuk menemui S. M. Kartosoewirjo, Imam Negara Islam Indonesia (NII)[2]. Namun
usahanya gagal, Kartosoewirjo lebih memilih untuk berada di luar NKRI sehingga
pemerintah Soekarno memperlakukan NII sama dengan pemberontak lainnya.
Kegagalannya membujuk Kartosoewirjo, bukan berarti
Mohammad Natsir gagal untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu. Melalui parlemen
dan Senat RIS pada 14 Agustus 1950, disahkan Rancangan Undang-Undang Dasar
Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui Undang-Undang Dasar ini
memungkinkan wilayah-wilayah yang dulunya berdiri sendiri sebagai negara
serikat kini bersatu kembali dalam bingkai NKRI. Pada 17 Agustus 1950, tepat
pada ulang tahun ke-5 Republik Indonesia, Presiden Soekarno memproklamirkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peran politik Mohammad Natsir tidak hanya sebatas itu,
ia diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri NKRI. Tentu hal ini
bukan tanpa pertimbangan. Latar belakangnya yang terlibat aktif dalam Partai
Islam Indonesia (PII), pimpinan Dr. Soekman Wirjosandjojo kemudian ia juga
merupakan salah satu pengurus Persatuan Islam pimpinan A. Hasan menjadi bekal
yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebelumnya ia adalah aktivis Jong
Islamitien Bond (JIB) Bandung. Ia juga pernah menjadi Ketua Partai Islam
Indonesia Masyumi, periode 1949 – 1958.
Bekal ilmu politik dan agama inilah yang menjadikannya
seorang politikus Islam yang cukup disegani. Tidak hanya oleh bangsa Indonesia,
ia pun pernah meraih beberapa penghargaan dari luar negeri diantaranya bintang Nichan
Istikhar
(Grand Gordon)
dari Raja Tunisia, Lamine Bey atas jasanya membantu perjuangan
kemerdekaan rakyat Afrika Utara.
Beberapa penghargaan lain pun pernah ia dapatkan bahkan dari
beberapa ulama dan pemikir terkenal seperti Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi
dan Abul
A'la Maududi.
Mohammad Natsir memiliki pandangan bahwa Islam harus
menjadi landasan atau ideologi negara. Ia
berpendapat bahwa Islam harus menjadi fondasi dalam mendirikan suatu
negara. Islam merupakan sistem yang dapat terejawantahkan dalam setiap lini
kehidupan, mulai dari kehidupan masyarakat, pemerintah, hingga perundang-undangan.
Karena pandangan inilah yang kemudian justru menjadi lawan bagi para penguasa.
Di masa Orde Lama, perbedaan pendapatnya dengan
Soekarno tentang Partai Komunis dan penetapan otonomi daerah, menjadikannya
sebagai lawan politik yang harus disingkirkan. Bergabungnya Mohammad Natsir
dengan PRRI sebagai bentuk kekecewaannya terhadap Soekarno tentang otonomi
daerah justru disalahtafsirkan sebagai bentuk pemberontakan. Karena itu,
akhirnya Mohammad Natsir dipenjarakan.
Setelah tumbangnya pemerintahan Orde Lama dan munculnya
pemerintahan Orde Baru pada awalnya memberikan angin segar dalam menata dunia
perpolitikan di Indonesia. Para tahanan politik pada masa Orde Lama dibebaskan
termasuk Mohammad Natsir. Meski demikian, Mohammad Natsir tidak pernah mengubah
pandangan politiknya. Ia tetap teguh dengan pendiriannya bahwa Islam merupakan
landasan bagi sistem sebuah ketatanegaraan[3].
Di masa Orde Baru, Pancasila dijadikan sebagai alat
untuk melanggengkan kekuasaan. Soeharto menganggap bahwa dirinya adalah
Pancasila sehingga setiap kritik atas dirinya merupakan penentangan terhadap
Pancasila. Atas inisiatif 50 tokoh nasional, muncullah Petisi 50 yang merupakan
sebuah dokumen tentang protes terhadap penggunaan filsafat Pancasila yang
digunakan Soeharto untuk memberangus lawan-lawan politiknya. Mohammad Natsir
termasuk salah seorang tokoh yang turut menandatangani petisi ini. Akibatnya,
ia dan tokoh-tokoh yang telah menandatangani petisi ini dicegah bepergian ke
luar negeri. Ia pun menolak keras kecurigaan Soeharto terhadap partai-partai
Islam.
Dibalik keteguhan dalam pendirian politiknya, Mohammad
Natsir adalah sosok pemimpin yang sederhana dan bersahaja. Guru besar dari
Universitas Cornell, George McTurnan Kahin, mengatakan “Pakaiannya sungguh
tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan” (Memperingati 70 tahun Mohammad Natsir). Ia melihat sendiri Natsir
mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut. Ia juga
mendapat info dari H. Agus Salim bahwa belakangan staf Kementerian Penerangan
mengumpulkan uang untuk membeli pakaian agar Natsir terlihat pantas sebagai
seorang menteri (Majalah Tempo Edisi
21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008).
Kesederhanaan dan kebersahajaan Mohammad Natsir tidak
berubah meski ia kemudian ditunjuk menjadi seorang Perdana Menteri Negara
Kesatuan Republik Indonesia pada 1950. Keluarga sang Perdana Menteri
ditempatkan di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu
Proklamasi), Jakarta Pusat, karena rumah sebelumnya di Jalan Jawa dinilai sempit
dan kusam sehingga tidak layak ditempati oleh seorang pemimpin pemerintahan. Ketika
ia mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri, saldo dana taktis yang
menjadi haknya sebagai perdana menteri, ia berikan ke koperasi karyawan tanpa
sepeserpun yang diambil. Kemudian setelah itu, Mohammad Natsir beserta
keluarganya hidup nomaden dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya hingga
akhirnya ia bisa menyicil rumah di kawasan Jalan Jawa (sekarang Jalan H. O. S.
Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Namun kini, setelah meninggalnya Mohammad Natsir,
rumah itu dijual karena kelima anaknya tidak sanggup membayar pajaknya (Majalah Tempo Edisi
21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008).
Sumber:
Buku:
Majalah Tempo Edisi
21/XXXVII/14 – 20 Juli 2008
Suryanegara,
Ahmad Mansur. 2009. Api Sejarah:
Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Bandung: Salamadani Pustaka semesta.
--------.
2010. API SEJARAH 2. Buku yang akan
Menuntaskan Kepenasaran Anda akan Kebenaran Sejarah Indonesia. Bandung:
Salamadani Pustaka Semesta.
Poesponegoro,
Marwati Djoened. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia V/Marwati Djoened Poesponegoro: Nugroho. -cet.-2 Edisi Pemutakhiran.
Jakarta: Balai Pustaka.
Internet:
http://wawasansejarah.com/di-nii-darul-islam/
diakses tanggal 12 Maret 2018
https://id.wikipedia.org/wiki/Petisi
50 diakses tanggal 13 Maret 2018
[1] Sebenarnya menurut pengakuan Natsir, ada tiga guru yang memengaruhi
pemikirannya. A. Hasan, Haji Agus Salim, dan Ahmad Sjoorkati. Yang terakhir
adalah ulama asal Sudan, pendiri Al-Irsyad, dan juga guru A. Hasan. Tapi
intensitas pertemuanlah yang membuat Natsir lebih dekat kepada Hasan. Majalah Tempo Edisi 21/XXXVII/14 – 20 Juli
2008.
[2] Negara Islam Indonesia merupakan suatu gerakan untuk mendirikan
negara Islam di Indonesia. Gerakan ini dipelopori oleh seorang tokoh bernama
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sejak Perang Agresi Militer I Belanda pada 14
Agustus 1947. Ia membagi wilayah ke dalam 3 bagian yaitu Daerah I (Ibukota
negara), Daerah II yang meliputi wilayah Jawa Barat, dan Daerah III yang
merupakan pengikut Kartosoewirjo. (http://wawasansejarah.com/di-nii-darul-islam/).
[3] Sehubungan
dengan hal ini, Mantan Menteri Agama era Orde Baru, Tarmizi Taher mengatakan: "Ia adalah
politisi dan demokrat sejati yang selalu berteguh hati memperjuangkan keyakinan
politiknya secara konstitusional dan demokratis. Akan tetapi, ia juga seorang
dai dengan kepedulian pokok membela dan menyelamatkan akidah umat dari berbagai
ancaman. Melihat aspek kepribadian dan sosok M Natsir ini, untuk memahaminya
secara benar dan akurat, kita harus mempertimbangkan dimensi pemikiran dan
kiprahnya." (http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/09/04/msl053-mohammad-natsir-sang-pembaru-dunia-islam).
0 Komentar